Sikap Koalisi Masyarakat Sipil atas Tidak Naiknya Cukai Rokok 2025
Pemerintah memastikan tidak ada kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok pada 2025 mendatang. Keputusan pemerintah ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96 Tahun 2024 tentang tarif cukai hasil tembakau berupa rokok elektronik dan hasil pengolahan tembakau lainnya dan PMK Nomor 97 Tahun 2024 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.010/2021 tentang tarif cukai hasil tembakau berupa sigaret, cerutu, rokok daun atau klobot dan tembakau iris. Melalui kedua aturan tersebut, pemerintah secara resmi juga menaikkan harga jual eceran (HJE) rokok konvensional dan elektronik.
Menyikapi terbitnya aturan tersebut, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), dan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) memandang keputusan ini sebagai bentuk pelemahan kebijakan pengendalian konsumsi rokok dari aspek fiskal. Keputusan ini berbanding terbalik dengan penguatan regulasi non-fiskal, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan bagian klaster pengamanan zat adiktif.
membuka konferensi pers pernyataan sikap atas tidak naiknya cukai rokok tahun 2025 yang dihelat di Hotel Dafam Enkadeli, Thamrin, Jakarta Pusat, (18/12).
“Penerapan cukai hasil tembakau ditujukan untuk menurunkan prevalensi perokok terutama pada anak-anak. Di Indonesia, prevalensi perokok anak masih belum terkendali. Selain itu, berbagai studi membuktikan bahwa harga rokok di Indonesia masih murah, lalu pengeluaran rumah tangga untuk rokok menempati posisi kedua setelah bahan makanan,” ucap Ketua PKJS-UI Aryana Satrya membuka konferensi pers pernyataan sikap atas tidak naiknya cukai rokok tahun 2025 yang dihelat di Hotel Dafam Enkadeli, Thamrin, Jakarta Pusat, (18/12).
Sesuai isi kedua PMK tersebut, dapat dilihat bahwa HJE rokok (konvensional) naik rata-rata 10% (tanpa pembobotan) untuk tahun 2025, atau yang terendah sejak 2023 yang berkisar di 13%. Sedangkan HJE rokok (elektrik) naik rata-rata 11% (tanpa pembobotan) lebih tinggi daripada kenaikan tahun 2024. HJE tertinggi untuk rokok dikenakan kepada sigaret putih mesin (SPM) I, yaitu sebesar Rp2,495 . Sedangkan HJE terendah dikenakan kepada sigaret kretek/putih tangan (SKT/SPT III), yaitu sebesar Rp 860. Secara umum, kenaikan HJE tertinggi dikenakan pada SKT dibandingkan golongan lain, utamanya golongan SKT/SPT III yang naik sebesar 19%. Namun, kenaikan ini masih lebih rendah daripada tahun 2023 dan 2024 yang naik 20%.
Intinya, kenaikan HJE yang disebut-sebut akan menekan keterjangkauan masyarakat pada harga rokok yang ada sekarang meski tidak ada kenaikan tarif cukai, ternyata belum dilakukan secara signifikan. Dengan kenaikan HJE yang diputuskan saat ini, semua jenis rokok masih sangat murah, bahkan harga tertinggi masih di bawah 50 ribu rupiah per bungkus atau sekitar Rp2.500 per batang, yang sangat terjangkau oleh kelompok rentan, anak-anak dan keluarga miskin. Padahal, penelitian Nurhasana dkk., pada 2022 menunjukkan bahwa para perokok, baru akan berhenti merokok jika harga rokok mencapai Rp75.000 per bungkus atau Rp3.500 per batang.
Founder dan CEO CISDI, Diah S. Saminarsih, mengatakan
Keputusan Pemerintah melalui Kementerian Keuangan yang resmi tidak menaikkan tarif cukai rokok konvensional dan elektronik, tetapi menaikkan Harga Jual Eceran (HJE) tertuang di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 96/2024 Tentang tarif cukai rokok elektronik dan PMK 97/2024 tentang rokok konvensional seperti sigaret, cerutu, dan tembakau iris sukses menuai kekecewaan jaringan masyarakat sipil yang bergerak di pembangunan kesehatan, khususnya pengendalian konsumsi rokok.
PMK 96/2024 dan PMK 97/2024 memutuskan tahun 2025 tidak ada kenaikan tarif cukai rokok, tetapi ada penyesuaian pada Harga Jual Eceran (HJE). HJE adalah patokan harga minimal yang harus dijual kepada konsumen. Melalui kedua PMK tersebut Kemenkeu menaikkan tarif HJE pada rokok konvensional rata rata 10%, dengan tarif kenaikan HJE rokok paling tinggi pada golongan rokok putih dan paling rendah pada golongan kretek tangan.
“Sangat disayangkan cukai tidak naik, padahal bisa ” Jelas Aryana selaku ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) menjelaskan lebih lanjut perbedaan kenaikan harga rokok berdasarkan HJE dan tarif cukai. “ ” jelasnya dalam menyikapi terkait keputusan Kemenkeu.
“Sepertinya ada barter politik, bentuk intervensi industri rokok kepada Pemerintah, maka cukai tidak naik,” ujar Tulus Abadi, Ketua Bidang Hukum dan Advokasi dari Komnas PT. Ia berargumen bahwa langkah pemerintah ini keliru, terutama dalam menyikapi peralihan konsumsi ke rokok murah atau downtrading. “Kesehatan Publik saat ini terancam karena prevalensi perokok anak masih tinggi; juga prevalensi perokok dewasa. Hal ini memicu penyakit-penyakit katastropik yang menggerus anggaran Negara. Dengan tidak menaikkan cukai rokok, Pemerintah seperti tidak punya upaya untuk mengendalikan Kesehatan Publik ini yang seharusnya menjadi modal utama untuk mewujudkan generasi emas.” Karena itu, Tulus menambahkan, agar Pemerintah tidak galau untuk mereformasi sistem cukai produk tembakau, serta dalam mengimplementasikan kebijakan pengendalian tembakau yaitu PP 28 tahun 2024.
Konferensi pers yang berlangsung selama dua jam tersebut juga didatangi sejumlah organisasi dan komunitas kesehatan dan pengendalian tembakau. “ ”
Menurut Anisya, Program Manager di Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), pemerintah seperti tidak berkomitmen untuk masa depan bangsa. “Untuk saat ini ada program diskon atau voucher di e-commerce untuk penjualan rokok elektronik. Pemerintah perlu memperhatikan dan mengendalikan ini.” tegasnya. Anisya juga menyoroti masih maraknya sponsor dan iklan produk tembakau di sosial media dan website, yang menarik perhatian remaja, yang sangat perlu diatur oleh Pemerintah.
Tidak naiknya cukai rokok untuk tahun depan dianggap sebagai kemunduran, mengingat 2023 dan 2024 Kemenkeu telah berhasil membuat kebijakan multi-tahun (multiyear) untuk menaikkan tarif CHT sebesar 10%. Sebelumnya, ketiga organisasi ini juga melakukan konferensi pers pada bulan Oktober, saat tidak naiknya cukai masih sebatas desas-desus. Ketiga organisasi telah memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan untuk mengatasi downtrading dan mendorong agar kebijakan CHT tetap mengedepankan aspek kesehatan untuk menghindari risiko-risiko yang akan terjadi jika cukai rokok tidak naik.
“PPN Hasil Tembakau atau PPN HT itu lebih murah dibandingkan dengan PPN Umum, ” Diah Saminarsih menyoroti xxxx. Diah menekankan bahwa Indonesia saat ini memiliki strata tarif cukai rokok yang paling rumit di dunia. Dengan tidak dilakukannya reformasi atau simplifikasi strata tarif cukai rokok ini maka masalah downtrading tidak terselesaikan.
Berdasarkan beberapa catatan di atas, kami memberikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintahan Prabowo-Gibran, sebagai berikut:
- Melakukan pengawasan secara ketat agar tidak ada yang menjual rokok di bawah HJE.
- Reformasi kebijakan CHT di tahun 2026:
- Kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk semua produk tembakau, termasuk rokel & tembakau iris (rokok linting) setiap tahunnya:
- Kenaikan tarif rata-rata untuk semua jenis dan golongan sigaret minimal 25% dan SKT >5% di awal, secara multiyears dan menyesuaikan dengan inflasi + 10% pada tahun berikutnya.
- Memastikan pemberlakuan tarif CHT rokel dan HPTL pada level 57% harga dasar
- Kenaikan harga jual eceran (HJE) minimum untuk semua jenis dan golongan produk tembakau:
- Mendekatkan jarak tarif antar layer dan mendekatkan dengan golongan yang teratas.
- Menaikkan 85% HJE menjadi 100%.
- Keberlanjutan penyederhanaan struktur tarif CHT → Menjadi 3-5 tier pada tahun 2029.
- Mempersempit celah (gap) tarif antar layer golongan cukai, misalnya menaikkan tarif cukai untuk golongan Sigaret Kretek Tangan (SKT).
- Kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk semua produk tembakau, termasuk rokel & tembakau iris (rokok linting) setiap tahunnya:
“Kami minta segera terapkan PP 28/2024 sebagai kebijakan pengendalian konsumsi rokok dari sisi non-fiskal di tahun 2025 untuk mendukung kebijakan fiskal mengingat lemahnya kebijakan fiskal yang saat ini terjadi dengan tidak naiknya kenaikan tarif cukai. Maka Pemerintah dengan kebijakan cukai yang sekarang, juga harus melakukan pengawasan yang ketat agar tidak ada harga di bawah HJE yang ditetapkan demi mendukung kontrol konsumsi di masyarakat,” tegas Tulus Abadi dalam penutupnya.