Peluncuran Indeks Gangguan Industri Tembakau (TII Index) 2025: Serukan Tata Kelola Pengendalian Tembakau yang Bebas Konflik Kepentingan

Indonesia kembali menjadi sorotan dalam laporan Tobacco Industry Interference (TII) Index 2025, yang menunjukkan tingginya tingkat campur tangan industri tembakau dalam kebijakan publik dan kesehatan masyarakat. Dalam acara Peluncuran dan Diskusi Publik bertajuk “Mendorong Kebijakan yang Mengutamakan Kesehatan dan Kepentingan Publik”, para ahli, pegiat antikorupsi, dan organisasi masyarakat sipil menyerukan pembenahan tata kelola pengendalian tembakau di Indonesia.

Dari 100 negara yang disurvei, Indonesia menempati posisi ke-93, yang berarti termasuk dalam 10 negara dengan tingkat campur tangan industri rokok tertinggi di dunia. Laporan ini mencatat praktik seperti keterlibatan industri melalui front groups, kampanye tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), dan strategi greenwashing yang menyesatkan publik.

“Gangguan industri tembakau melemahkan kebijakan publik, merusak integritas pemerintah, menghambat implementasi regulasi, dan meningkatkan pengaruh politik industri rokok,” tegas Mohammad Ainul Maruf dari RUKKI.

Konflik Kepentingan dan Ketiadaan Transparansi

RUKKI menyoroti sejumlah kasus keterlibatan pejabat publik dengan industri rokok, termasuk kunjungan langsung ke pabrik dan pelintingan rokok oleh pejabat tinggi negara. Kegiatan semacam ini dinilai memberi legitimasi terhadap praktik yang bertentangan dengan tujuan pengendalian tembakau.

Indonesia juga dinilai mendapatkan penalti skor tambahan karena belum menjadi negara pihak dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Selain itu, belum adanya mekanisme standar untuk mengungkap interaksi pejabat dengan industri memperparah krisis transparansi.

CSR: Panggung Baru Industri Rokok

Industri tembakau kerap memanfaatkan celah regulasi melalui program CSR untuk membangun citra positif. Di Jawa Tengah, misalnya, pemerintah daerah memberikan penghargaan kepada CSR Djarum Foundation dalam isu lingkungan, meskipun praktik ini dinilai sebagai bagian dari strategi greenwashing.

Sementara itu, dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) kerap dialihkan untuk kegiatan yang justru mendukung eksistensi industri, seperti festival tembakau di Jawa Barat. Bahkan, ekspansi pengaruh industri mulai menjangkau proyek-proyek strategis nasional seperti jalan tol Kediri–Tulungagung.

Cukai: Alat Kendali yang Belum Efektif

Menurut Danang Widoyoko dari Transparency International Indonesia (TII), peran cukai sebagai instrumen pengendalian masih belum maksimal. Kenaikan tarif cukai sering direspons industri dengan meluncurkan produk baru yang lebih murah, sehingga tidak efektif menekan konsumsi.

“Penerapan single tarif cukai sangat penting untuk mencegah pergeseran ke produk tembakau yang lebih murah dan mendorong efektivitas pengendalian,” tegas Danang.

Ia juga menekankan bahwa banyak pejabat publik yang langsung menduduki posisi strategis di perusahaan tembakau setelah masa jabatannya, membuka celah praktik konflik kepentingan dan potensi korupsi.

Hak Kesehatan dan Kewajiban Negara

Dari sudut pandang hak asasi manusia, Gina Sabrina dari PBHI Indonesia menekankan bahwa negara wajib menghormati dan melindungi hak atas kesehatan, sebagaimana tercantum dalam berbagai instrumen HAM internasional. Sayangnya, negara dinilai gagal mengatur dan mencegah pelanggaran hak kesehatan akibat paparan produk tembakau, termasuk pembiaran terhadap iklan, promosi, dan sponsor rokok.

“Kampanye industri tembakau sering kali tidak etis, bahkan melibatkan anak muda sebagai target. Negara tidak hanya lalai, tetapi juga gagal menyediakan mekanisme pemulihan atas pelanggaran hak kesehatan,” ujar Gina.

Laporan TII Index 2025 menjadi alarm keras bagi pemerintah Indonesia untuk segera memperbaiki tata kelola kebijakan pengendalian tembakau dan menempatkan kesehatan publik di atas kepentingan industri.

Scroll to Top