Jakarta, 8 Oktober 2024 – Hari ini, bersama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Lentera Anak, dan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) menyelenggarakan konferensi pers untuk menyikapi maraknya pemberitaan mengenai penolakan terhadap rencana kemasan standar oleh Pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan RI. Berbagai penolakan disampaikan oleh pihak-pihak yang mengklaim aturan ini akan merugikan, mulai dari perwakilan industri rokok, kelompok riset, serta kelompok pendukung industri dan afiliasinya, bahkan bagian dari Pemerintah sendiri. Penolakan juga datang dari Komisi IX DPR RI yang seharusnya memiliki perspektif kesehatan yang kuat.
Melihat penolakan-penolakan tersebut, Menteri Kesehatan dalam pernyataan publiknya di media menyampaikan akan menilik kembali rencana kebijakan standarisasi kemasan tersebut. Pernyataan ini dikhawatirkan akan melemahkan komitmen Kementerian Kesehatan sebagai leading sector aturan tersebut, yang pada akhirnya akan mengorbankan kesehatan masyarakat Indonesia yang menjadi tujuan utama dirancangnya aturan tersebut. Rencana kemasan standar adalah salah satu rancangan aturan yang sedang digodok di Kemenkes sebagai aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. PP ini memuat beberapa aturan Pengamanan Zat Adiktif yang tujuan utamanya memperkuat perlindungan masyarakat dari bahaya konsumsi rokok.
“Tercantum di dalam pasal 430 PP 28 Tahun 2024, tujuan kebijakan ini adalah untuk menurunkan prevalensi merokok dan mencegah perokok pemula. Pencegahan perokok pemula dilakukan melalui tiga strategi, yaitu pertama zero access melalui larangan penjualan dalam radius 200 m dari satuan pendidikan dan tempat bermain, pengaruh pemasaran dan promosi misalnya dengan aturan larangan iklan di media sosial, making tobacco less attractive dengan aturan PHW 50%, kemasan standar, dan larangan bahan tambahan perisa,” ungkap Lisda Sundari, Ketua Yayasan Lentera Anak.
Aturan-aturan di atas tentu sejalan dengan misi Pemerintah untuk menekan prevalensi perokok di Indonesia demi meningkatkan kualitas kesehatan penduduk Indonesia. Seperti yang disampaikan Beladenta Amalia, Project Lead Tobacco Control Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), ”Dengan penurunan konsumsi tembakau, terutama pada kalangan pemuda, maka produktivitas masyarakat kita akan meningkat dan roda ekonomi akan berputar dan terus tumbuh. Studi CISDI tahun 2019 menunjukkan beban ekonomi akibat konsumsi tembakau mencapai Rp 27,6 T.” Bela menambahkan bahwa kesehatan itu sebenarnya tidak berbenturan dengan kepentingan ekonomi. Karena buktinya dari segi ekonomi, ada beban biaya akibat dari rokok. Kondisi yang dijelaskan Beladenta sudah semestinya direspon cepat oleh Pemerintah untuk membuat kebijakan yang efektif untuk menekan perilaku merokok di masyarakat, salah satunya dengan aturan kemasan standar.
Seperti yang kita ketahui, kemasan produk tembakau dan rokok elektronik di Indonesia saat ini masih menganut “branding packaging” sehingga kemasan-kemasan yang beredar sangat menonjolkan brand (merek) setiap produk, dengan desain grafis dan berbagai elemen seperti ilustrasi kartun dan sebagainya untuk menarik pelanggan, termasuk pelanggan baru. “Branding packaging” juga membuat peringatan kesehatan bergambar alias PHW (Pictorial Health Warning) PHW menjadi less-effective karena perhatian konsumen lebih tertuju pada desain yang dibuat semenarik mungkin.
Untuk itu, perlu dibuat aturan yang menekan ketertarikan calon konsumen terhadap produk zat adiktif ini yang salah satunya dengan menerapkan kemasan standar. Tujuan utamanya adalah menyeragamkan kemasan produk tembakau maupun rokok elektronik, sehingga: mengurangi daya tarik produk secara visual, memperkuat peringatan kesehatan bergambar yang akan meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya merokok, dan menyulitkan industri untuk mempromosikan merek sebagai upaya branding agar fokus konsumen lebih terarah pada risiko kesehatan.
Seperti yang disampaikan oleh Tubagus Haryo Karbyanto, Pengurus Bidang Hukum dan Advokasi Komnas Pengendalian Tembakau, “Penerapan kemasan standar melalui RPMK (Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan) tentang produk tembakau dan rokok elektronik yang sedang dibahas di Kementerian Kesehatan merupakan langkah strategis dan efektif yang pro perlindungan masyarakat, terutama anak.” Tubagus dalam pernyataannya mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan pembahasan dan menerapkan kebijakan ini demi masa depan yang lebih sehat bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengalaman dari negara-negara lain, seperti Australia, Kanada, Inggris, dan Prancis, menunjukkan bahwa kebijakan ini berhasil mengurangi prevalensi merokok dan meningkatkan kesadaran tentang risiko produk tembakau. Tubagus menambahkan “Tujuan dari kemasan standar ini adalah untuk mengurangi daya tarik produk itu sendiri, memperkuat PHW, melemahkan iklan terselubung melalui kemasan, mengurangi identitas merek tembakau, mendukung upaya pengendalian tembakau secara global.” jelasnya.
Dalam kesempatan ini, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menegaskan PP Nomor 28 Tahun 2024 dan juga RPMK sudah on the track untuk melindungi kesehatan masyarakat Indonesia. Anggapannya aturan ini menjadi bridging bagi pemerintah yang gembar-gembor Indonesia Emas 2045. Bagaimana Indonesia Emas 2045 bisa tercapai jika masih ada permasalahan rokok ini. RPMK ini sebagai pelaksanaan mandat dalam PP Kesehatan dan sebagai upaya denormalisasi rokok dan industri rokok. Dengan PP 28, membuat kita untuk denormalisasi rokok,” tegasnya.