Jakarta, 11 Mei 2023 – Sehari lalu, Panja RUU Kesehatan Komisi IX Bidang Kesehatan DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) RUU Kesehatan omnibus yang saat ini tengah berproses di DPR. Pada kesempatan ini, kelompok organisasi masyarakat sipil yang peduli pada masalah pengendalian konsumsi produk zat adiktif tembakau, yang terdiri dari Komnas Pengendalian Tembakau, FAKTA Indonesia, YLKI, Yayasan Lentera Anak, PBHI, IYCTC, PKJS UI, dan CISDI, turut menyampaikan aspirasi mereka yang menekankan pentingnya pengaturan zat adiktif produk tembakau, terutama dari sisi pemasaran, mengingat sifat adiksi dan eksternalitas negatif lainnya yang ditimbulkan produk tersebut.
Iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau diyakini dan telah terbukti mendorong konsumsi rokok, termasuk pada anak-anak dan remaja. Sejak tahun 1970-an, berbagai negara di dunia telah melarang iklan dan bentuk-bentuk pemasaran lain produk tembakau dan kini telah mencapai 144 negara yang telah melarang iklan rokok termasuk negara-negara kecil, demi memberikan perlindungan pada rakyatnya dari serbuan iklan zat adiktif yang berisiko pada kehidupan mereka. Namun, hampir seratus tahun kemudian, Indonesia belum juga melarang iklan, promosi, sponsor rokok, dan menjadi satu-satunya negara ASEAN yang tidak melarang iklan rokok. Hal ini disampaikan Nina Samidi, Program Manager Komnas Pengendalian Tembakau yang mewakili koalisi dalam pembuka paparannya di hadapan Ketua Panja RUU Kesehatan sebagai Pimpinan RDPU, Melkiades Laka Lena (10/05).
“Dengan prinsip, rokok adalah produk legal namun bukan produk normal karena memiliki eksternalitas negatif pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, maka rokok sebagai produk yang mengandung zat adiktif nikotin harus dilarang untuk diiklankan, dipromosikan, dan melakukan sponsorship,” tegas Nina.
Terkait zat adiktif, keberadaan pengertian zat adiktif saat ini telah diatur dalam pasal 113 dalam UU Kesehatan Nomor 36/2009 yang berbunyi, “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan atau masyarakat sekelilingnya”.
Sejatinya, pasal zat adiktif menjadi sangat penting karena akan menjadi jangkar dalam berbagai pengaturan terkait produk-produk yang termasuk di dalamnya. Karena itu, pasal ini harus ada atau kita berisiko kehilangan seluruh aturan terkait dan membuat Indonesia mengalami kemunduran fatal di dunia kesehatan.
Namun ada upaya yang diduga dihembuskan oleh pihak pro industri rokok terkait ayat zat adiktif dalam RUU Kesehatan yang akhir-akhir ini muncul di pemberitaan, Tulus Abadi, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam kesempatan berbeda menyampaikan dugaan adanya upaya menghilangkan ayat ini dalam omnibus kesehatan. Dalam rancangan ini, pasal zat adiktif tertuang dalam pasal 154. Produk tembakau yang masuk ke dalam kategori zat adiktif bersama narkotika, psikotropika, dan minuman beralkohol tampak sedang didorong agar dihapus dari pasal ini. “Hal ini mengingatkan kita pada kasus ‘penghilangan pasal tembakau sebagai zat adiktif’ yang pernah terjadi di tahun politik pada 2009, yang saat itu dipimpin oleh Ketua Komisi
Kesehatan, politikus PDI Perjuangan Ribka Tjiptaning dan dari pemeriksaan Badan Reserse dan Kriminal Polri juga mengindikasikan adanya pejabat Kementerian Kesehatan yang terlibat dalam penghilangan ayat tersebut (sebagaimana telah diungkap dalam liputan investigasi Majalah TEMPO, 4 Oktober 2010). Namun, kelicikan ini akhirnya terkuak saat draf dikirim ke Istana Negara untuk ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pasal 113 pun dalam kembali muncul. DPR harus waspada sejarah 14 tahun lalu ini bisa berulang,” ungkap Tulus Abadi.
“Usaha menghalangi masuknya regulasi yang mengatur produk tembakau telah menjadi bagian sejarah hitam pengendalian tembakau dan perjuangan mewujudkan kesehatan publik di Indonesia,” tandas Manik Marganamahendra, Ketua Indonesian Youth Council for Tactical Changes mewakili kelompok muda. “Pasal 113 UU Kesehatan menempatkan Indonesia lebih beradab, seperti negara-negara maju yang tak lagi menormalisasi rokok dan produk tembakau lainnya. Mereka mengatur secara ketat distribusi produk tembakau dan melarang secara permanen iklan rokok dalam bentuk apa pun, yang kini juga berlaku bagi
produk berbasis nikotin lainnya, seperti vaping dan tembakau yang dipanaskan,” lanjutnya.
“Dasar negara maju menutup pintu pada normalisasi rokok adalah ribuan studi ilmiah dan bukti empirik bahwa produk tembakau menyebabkan gangguan kesehatan dan memicu pelbagai macam penyakit yang akhirnya berdampak pada masalah sosial dan ekonomi. Dengan kandungan 7.000 zat kimia dalam sebatang rokok termasuk nikotin yang sangat adiktif, produk tembakau adalah risiko utama penyakit-penyakit tidak menular (PTM) mematikan. Di Indonesia, kerugian makro mencapai 396 triliun di tahun 2015 atau lebih dari 3x lipat penerimaan cukai di tahun yang sama,” tambah Nina.
Dengan bukti-bukti seperti itu, anggota DPR yang menggodok RUU Kesehatan omnibus harus menyadari betapa pentingnya pengaturan produk tembakau, dengan tetap memasukannya dalam kelompok zat adiktif sehingga distribusi dan pemasarannya dapat diatur secara ketat. Diharapkan, Komisi IX DPR sebagai komisi yang salah satunya membawahi bidang kesehatan, fokus pada perlindungan kesehatan masyarakat. Jangan sampai sejarah berulang dengan hilangnya ayat zat adiktif, yang akan meluruhkan seluruh aturan pengendalian termasuk iklan, promosi, dan sponsor yang tak kunjung dilarang, membiarkan Indonesia terus tertinggal dan terjebak dalam adiksi selamanya.
Informasi lebih lanjut: sekretariat@komnaspt.or.id atau (021) 3917354.