Organisasi Masyarakat Sipil Desak Presiden RI Segera Sahkan RPP Kesehatan dengan Pengamanan Zat Adiktif yang Kuat

Jakarta, 14 Mei 2024 – Hari ini, sejumlah organisasi masyarakat melakukan konferensi pers bersama untuk mendesak Presiden RI, Joko Widodo, agar segera mengesahkan RPP turunan UU No. 17 tahun 2023 tentang Kesehatan. Desakan ini mempertimbangkan kebutuhan yang mendesak atas perlindungan masyarakat yang lebih kuat, khususnya dari konsumsi produk zat adiktif tembakau, baik rokok konvensional maupun rokok elektronik.

Hampir setahun yang lalu, yaitu pada 11 Juli 2023, sebuah undang-undang kesehatan omnibus disahkan dengan nomor UU No. 17 tahun 2023. UU Kesehatan ini melebur sejumlah aturan terkait kesehatan, di antaranya aturan mengenai Pengamanan Zat Adiktif. Telah menjadi polemik sejak penyusunan UU-nya, aturan pengamanan zat adiktif kembali menjadi salah satu bagian yang paling alot dibahas di RPP turunannya. Tarik menarik kepentingan terjadi mulai dari pembahasan di panitia antar-kementerian sampai harmonisasi lintas sektor, yang akhirnya harus dibahas di Rapat Internal dengan Presiden di istana.

Tarik menarik lintas sektor, terutama pada bagian Pengamanan Zat Adiktif, dalam pembahasan berpotensi melemahkan substansi RPP yang seharusnya berorientasi pada upaya perlindungan kesehatan masyarakat sebagai aturan kesehatan. Sebuah aturan kesehatan yang terlalu banyak mempertimbangkan faktor di luar kesehatan akan membuat aturan kesehatan keluar dari marwahnya sebagai aturan sektor kesehatan.

Karena itu, ketika RPP Kesehatan yang penuh dinamika lambat dibahas dan sampai sekarang belum disahkan sampai mendekati tenggat waktu pemberlakukan RPP, diduga akibat adanya tarik menarik dari sektor di luar kesehatan yang diduga beriorientasi pada kepentingan industri.

Untuk itu, dalam kesempatan konferensi pers ini, Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DrPH, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau menyatakan, “Rokok adalah sumber paling bermakna untuk dikendalikan. Rancangan PP Kesehatan sudah disiapkan, tapi dalam prosesnya sampai keluar bisa terjadi banyak intervensi, masuk kontaminan-kontaminan. Kami harap Kemenkes konsisten membawa amanah sesuai tupoksinya dalam bidang kesehatan, menelusuri masalah kesehatan dengan mengendalikan faktor risiko dan berperan secara komperehensif. Saat ini, pengobatan menjadi sangat mahal, maka harus kita mulai dari pencegahan. Oleh karena itu, kita menekan Kemenkes untuk juga menerapkan five level prevention seperti yang dilakukan banyak negara. Mulai dari melarang iklan sampai menentukan peredaran, semua itu harus diatur dalam peraturan pemerintah. Kemenkes harus konsisten mengawal amanat seluruh rakyat Indonesia. Sehingga penyakit akibat rokok ini tidak menjadi beban ekonomi. Kami harap kemenkes benar-benar berkomitmen menjaga amanat rakyat.”

Senada dengan yang disampaikan Prof Hasbullah Thabrany, Prof. DR. Dr. Agus Dwi Susanto, Sp. P(K),
FAPSR, FISR, Guru Besar FKUI, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), menyatakan, “Harus
dilakukan percepatan agar RPP Kesehatan segera disahkan karena banyak sekali kasus yang muncul
penyakit paru dan pernafasan akibat rokok. Rokok elektronik tetap berbahaya bagi kesehatan karena
ada nikotin, bahan karsinogen, dan bahan toksik yang bersifat iritatif. Dampak dari rokok elektronik
terhadap penyakit paru, mulai dari gejala pernafasan bronkhitis, resiko asma, resiko pneumonia,
sampai terjadi kanker paru serta menyebabkan kerusakan jaringan paru. Kasus yang timbul dari rokok
elektronik contohnya kebocoran paru-paru, pneumonia, asma, ini sudah terjadi di Indonesia dan
banyak di antaranya pasien-pasien saya. Itulah kenapa kami sepakat aturan yang lebih kuat untuk
menekan konsumsinya harus segera disahkan.”

Sementara Prof. DR. dr. Aru Wisaksono Sudoyo. Sp.PD-KHOM, FACP, Ketua Umum Yayasan Kanker
Indonesia, menambahkan, “Urusan pengendalian konsumsi rokok penting karena banyak sekali
kanker yang diakibatkan langsung karena rokok dan produk tembakau lainnya. Bahkan vape atau
rokok elektronik tidak seperti yang dianggap banyak orang. Maka mari berjuang melawan produk
adiktif ini. YKI pun bersurat ke Bapak Presiden agar RPP Kesehatan ini dapat terealisasi.”

DR. dr. Sally Aman Nasution Sp. PD-KKV, FINASIM, FACP sebagai Ketua Umum PAPDI (Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia) menyampaikan bahwa proses RPP Kesehatan ini
sebenarnya bisa dilihat dari sejarah Revisi PP 109/2015 masih belum tuntas. “Kami bersama
teman-teman kesehatan berusaha mempercepat revisi PP itu. Sampai tahun lalu, sudah ada UU
Kesehatan yang baru bahkan revisi PP 109 masih belum muncul sementara prevalensi perokok
terutama anak mulai dari 2013 – 2019 naik terus. Sehingga semua stakeholder yang mengeluarkan
kebijakan tidak terkatung-katung lagi. RPP Kesehatan diharapkan mampu memperkuat perlindungan
kesehatan masyarakat. Presiden bisa segera mengesahkan RPP Kesehatan secara keseluruhan
termasuk perlindungan masyarakat dari bahaya tembakau dan zat adiktif yang lain.”

Sementara itu, Annisa Azzahra, Bidang Advokasi Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), menyatakan, “Sepuluh tahun lalu, Indonesia di-review oleh Komisi PBB, perokok di Indonesia sudah mencapai level yang berbahaya. Kemudian mendapat rekomendasi untuk membuat regulasi pengendalian tembakau untuk mengontrol, di antara melalui pelarangan promosi, pengendalian rokok dari hulu hingga hilir, kawasan tanpa rokok, ruangan tanpa rokok. UU Kesehatan menyatakan rokok berbahaya tetapi masih banyak kekurangan dalam peraturan tersebut, seperti terkait produksinya, peredarannya. Maka kita butuh RPP Kesehatan ini. Komite PBB akan mereview kembali apakah Indonesia menjalankan rekomendasi yang diberikan pada akhir tahun ini. Ini menjadi moment yang tepat untuk segera mengesahkan RPP Kesehatan dengan memperkuat bagian Pengamanan Zat Adiktif karena akan ada review kembali dari PBB untuk melihat komitmen pemerintah Indonesia terhadap pengendalian tembakau.”

Ketiadaan peraturan perundang-undangan ini sangat menggelisahkan. KOWANI yang juga turut hadir
perwakilannya dalam konferensi pers menyatakan bahwa PP Kesehatan yang tak kunjung disahkan ini
menggelisahkan. “KOWANI mendorong kepada presiden untuk mengesahkan RPP sehingga KOWANI
ikut bersurat ke Bapak Presiden yang diharapkan bisa lebih kuat melindungi perempuan dan anak,”
tegas Dr. Khalilah, M. Pd, Ketua Bidang Sosial, Kesehatan, dan Kesejahteraan Kongres Wanita
Indonesia (KOWANI).

Sebagai upaya untuk mendesak Pemerintah agar tetap fokus pada tujuan peningkatan layanan kesehatan bagi masyarakat termasuk perlindungan kesehatan dari bahaya rokok, Komnas Pengendalian Tembakau bersama organisasi peduli, yaitu Yayasan Kanker Indonesia (YKI), Green Crescent Indonesia, Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Social Force in Action for Tobacco Control (SFA for TC), Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia (AMKRI), Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI), Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau (JP3T),
Perkumpulan Wicara Esofagus (PWE) Indonesia, Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) pengendalian konsumsi produk tembakau dan turunannya mengadakan konferensi pers bersama untuk mendesak Presiden RI segera mengesahkan RPP Kesehatan. Konferensi pers ini merupakan desakan atas surat-surat dukungan yang telah dikirimkan sebelumnya. Sebanyak 15 organisasi telah bersurat kepada Presiden RI untuk dukungan dan desakan yang sama.

Diharapkan dengan aturan yang lebih kuat, RPP Kesehatan dapat segera disahkan demi menguatnya perlindungan kesehatan masyarakat serta untuk mendapatkan kepastian hukum pelaksanaan/penerapan atas UU Kesehatan yang baru.

Dalam konferensi pers ini, organisasi-organisasi yang sebelumnya telah mengirimkan desakannya melalui surat yang ditujukan kepada Presiden RI, menyatakan:

  1. Saat ini, tengah ada kekosongan kebijakan dengan tidak adanya atau tidak segera disahkannya RPP turunan UU Kesehatan yang berpengaruh pada upaya perlindungan kesehatan masyarakat
  2. Mendesak Presiden RI untuk segera mengesahkan RPP dan memastikan komitmen pemerintah pada perlindungan masyarakat
  3. Mengingatkan Presiden agar RPP segera mengesahkan RPP turunan UU Kesehatan 2023 sebelum 8 Agustus 2024, tenggat 1 tahun sejak UU Kesehatan disahkan sesuai amanah UU, menghindari preseden sebelumnya pada revisi PP No. 109 tahun 2012 yang berlarut-larut hingga lebih dari tiga tahun yang berakibat peningkatan konsumsi rokok di Indonesia
  4. Memastikan RPP yang akan disahkan adalah PP kesehatan yang kuat dan berorientasi pada kepentingan kesehatan masyarakat, khususnya pada bagian Pengamanan Zat Adiktif
  5. Mendesak Presiden RI agar menolak segala intervensi yang dilakukan industri dan afiliasinya yang bertujuan melemahkan substansi Pengamanan Zat Adiktif demi kepentingan golongan tertentu, yaitu industri rokok yang produknya telah berperan besar dalam peningkatan risiko penyakit mematikan yang berakibat pada penurunan kualitas kesehatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

This will close in 600 seconds

Konsultasi Klinik Hukum
Tutup
Scroll to Top
Aktifkan Notifikasi ProTC OK Tidak