Jakarta, 5 Juli 2024 – Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) bersama dengan 16 (enam belas) organisasi muda lainnya yaitu Kolaborasi Bumi, Sinergi Bersama Mengurangi Asap Rokok di Kulon Progo (Semar-KU), Komunitas Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Kita Sayang Remaja (Kisara) PKBI – Bali, Toco Rangers, Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia, Ruandu Foundation, Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia, Ikatan Lembaga Mahasiswa Kebidanan Indonesia, Trash Rangers Indonesia, Youth Rangers Indonesia, Forum Anak Kota Bogor, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi, Himpunan Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Universitas Siliwangi, dan Hasanuddin Contact mengirimkan surat untuk mendesak Presiden Joko Widodo agar segera mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), turunan dari Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tersebut mengamanatkan Pemerintah untuk membuat dan menetapkan peraturan turunan dalam bentuk PP paling lambat 1 tahun setelah disahkannya UU yang akan jatuh pada tanggal 8 Agustus 2024 mendatang. Pengesahan RPP Kesehatan juga merupakan momentum terakhir bagi Presiden Joko Widodo untuk memberikan warisan kekuasaan yang melindungi masyarakat. Kehadiran PP turunan UU menjadi esensial untuk perkembangan kesehatan dan perlindungan masyarakat, utamanya dari epidemi yang tak kunjung selesai kita hadapi, yaitu epidemi tembakau. Data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 menunjukkan bahwa perokok laki-laki di Indonesia menempati urutan pertama di dunia dengan prevalensi 65,5%. Walaupun mengalami penurunan prevalensi, secara absolut, jumlah perokok mengalami peningkatan dari 60,3 juta di tahun 2011, menjadi 69,1 juta di tahun 2021. Hal ini juga diperparah dengan prevalensi pengguna rokok elektronik yang justru mengalami peningkatan 10 kali lipat dalam 1 dekade.
“Kami khawatir bahwa bonus demografi indonesia di tahun 2045 mendatang menjadi tidak maksimal karena meningkatnya konsumsi rokok secara umum dan pada anak. Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019 menyatakan bahwa 19,2% pelajar usia 13-15 tahun saat ini adalah perokok. Konsumsi rokok yang tinggi juga dapat dilihat dari pembelanjaan rumah tangga yang memprioritaskan rokok dibandingkan makanan bergizi, yang menyebabkan peluang stunting yang lebih tinggi pada anak dengan anggota keluarga yang merokok. Ditambah lagi sampah rokok konvensional dan elektronik dalam jumlah besar dan penggunaan plastik yang mengkhawatirkan; serta kerugian lingkungan lainnya yang seharusnya bisa dicegah,” ungkap Daniel Beltsazar, Project and Research Officer IYCTC.
Daniel mengingatkan kembali bahwa bahwa tanpa adanya regulasi yang kuat dan bermakna, Bappenas memprediksi pada 2030 prevalensi perokok anak di Indonesia bisa mencapai 16% atau sekitar 6 juta anak. Candu konsumsi rokok yang merugikan kesehatan dan ekonomi perokok dan lingkungannya jelas menghambat pembangunan manusia secara holistik. Contohnya; di Indonesia, rokok kretek filter menjadi komoditas penyumbang garis kemiskinan kedua sebesar 12,14% di perkotaan dan 11,34% di pedesaan (BPS, 2023).
“Data termutakhir dari Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menurun dari 9,1% di tahun 2018 menjadi 7,4% secara nasional, namun masih jauh dari target yang direkomendasikan WHO, serta angka ini juga masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan prevalensi perokok anak pada tahun 2013 sebesar 7,2%. Ditambah lagi, masih banyak daerah dengan prevalensi merokok anak diatas rata-rata nasional. Ini artinya, upaya dan peraturan yang saat ini belum cukup komprehensif untuk benar-benar melindungi anak dari perilaku merokok,” tambah Manik Marganamahendra, Ketua Umum IYCTC.
Manik menerangkan bahwa kurang lebih satu bulan lagi, tepat setahun disahkannya UU 17/2023 Tentang Kesehatan, “Jika Presiden Joko Widodo belum juga mengesahkan RPP Turunannya, berarti beliau lalai dalam menjalankan amanat Undang-Undang, dan tentunya akan ada kekosongan hukum yang terjadi karena peraturan teknis turunan dari UU tersebut belum ada. Memang secara hukum, jika belum ada PP turunan, masyarakat masih bisa mengacu kepada PP terdahulu sebelum disahkannya UU 17. Tetapi bagaimana dengan substansi-substansi yang belum memiliki peraturan teknis dalam bentuk PP, masih digantung sampai sekarang kepastiannya,” tambah Manik.
Joko Widodo, sebagai pemimpin eksekutif belum bisa dikatakan meninggalkan legacy yang baik untuk masyarakat Indonesia jika tidak mengesahkan RPP Kesehatan ini. “Untuk diketahui, berdasarkan pemberitaan media, Kementerian Kesehatan yang di koordinir oleh Kementerian PMK telah melakukan tahapan-tahapan perancangan Peraturan Pemerintah sesuai amanat UndangUndang yang meliputi tahapan uji publik, harmonisasi dengan Kementerian dan Lembaga untuk memberikan keseimbangan kepada semua elemen yang terdampak. Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin tertinggi memiliki wewenang untuk mempercepat, mendesak, menyetujui, dan mengesahkan RPP tersebut. Tugas kami sebagai masyarakat adalah mendorong Presiden untuk melakukan tugasnya, salah satunya dengan mengirim surat ini,” tutup Manik.